*tulisan ini telah diikutsertakan dalam lomba review film antidiskriminasi Denny JA dan Hanung Bramantyo*
Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah ia walau
jalannya terjal berliku. Ketika cinta memelukmu, maka dekapilah ia walau pedang
di sela-sela sayapnya melukaimu. “Romi dan
Yuli” pertama kali dipertemukan lewat puisi Kahlil Gibran tersebut. Dalam
sebuah kesempatan pergelaran seni di halaman kampus mereka, Juleha, gadis
cantik berjilbab asli Betawi itu membacakan puisi Kahlil Girbran. Bagian akhir
puisi yang ia lupa liriknya ternyata disempurnakan oleh Rokhmat. Sejak saat
itu, keduanya selalu bersama, berjumpa dimana saja, dan saling berbincang
tentang apa saja. Awalnya, segalanya berjalan dengan begitu lancar. Hingga akhirnya
kedua keluarga mereka saling bertemu untuk menentukan tanggal pernikahan.
Namun, apakah cerita ini sesederhana itu? Nyatanya tidak.
Juleha
adalah seorang anak dari kyai pimpinan sebuah pondok pesantren dengan jama’ah
yang begitu loyal. Sedangkan Rokhmat sebenarnya hanyalah seorang mahasiswa
biasa yang menjalani hari-harinya secara biasa pula. Sesekali ia berdiskusi
tentang banyak hal dengan kawan-kawannya. Dari diskusi itu, terlihat betapa
Rokhmat adalah sosok yang begitu menjunjung tinggi toleransi, termasuk
antarumat beragama. Keduanya memadu kasih tanpa ada halangan yang berarti.
Hingga kemudian hari itu tiba, 6 Februari 2011. Hari dimana televisi menyiarkan
kabar tentang sebuah peristiwa di Cikeusik, kampung halaman Rakhmat. Tayangan
itu tentang Jama’ah Ahmadiyah yang diserang oleh sekelompok massa yang menolak
keberadaan mereka. Fakta itu membuat Rokhmat secara tidak sengaja menunjukkan
jati dirinya yang sebenarnya. Jati diri yang disembunyikannya, atau dianggapnya
tidak begitu penting untuk disampaikan kepada kekasihnya. Rokhmat, ternyata adalah
seorang ahmadi.
Kenyataan
itu membuat keduanya pecah kongsi. Juleha tidak bisa menerima Rokhmat begitu
saja. Tentu ini berkaitan erat dengan kedudukan ayahnya yang dikalangan jama’ah
terkenal begitu menentang paham Ahmadiyah. Dalam pemahaman sang ayah, Ahmadiyah
adalah golongan sesat yang keluar dari Islam. Akidahnya menyimpang. Sebuah harga mati yang tidak bisa lagi
ditawar. Maka membiarkan putrinya menikah dengan seorang ahmadi, tentu tidak
masuk di akal.
Rokhmat
menentang keras penolakan tersebut. Baginya, tidak ada yang salah dengan apa
yang selama ini ia jalankan sebagai seorang Ahmadi, ia juga shalat, puasa,
zakat, mengaji Al Qur’an, dan mengakui Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi terakhir. Baginya, tiada
beda antara ia dan Juleha. Nah, jika memang Rokhmat benar, maka logika
pendeknya; Rokhmat sebenarnya bukanlah
Ahmadi. Atau kemungkinan lainnya, Rokhmat tidak termasuk Ahmadi tulen. Ia ‘masuk’
dalam golongan itu hanya karena tumbuh dan besar dalam lingkungan Ahmadiyah
saja.
Film
ini menayangkan berita tentang aksi vandalis yang terjadi dimana-mana berkaitan
dengan kontroversi Ahmadiyah. Pembantaian. Pengrusakan. Bahkan pembakaran
masjid milik jama’ah Ahmadiyah menjadi seolah dibenarkan oleh oknum yang sedang
berupaya menjaga kesucian agamanya. Sayangnya, bahkan meski mereka tengah
meneriakkan takbir kebenaran, namun tidak semua pihak melihatnya sebagai sebuah
keindahan. Berbagai respon pun bermunculan. Bukan hanya dari pengikut
Ahmadiyah, termasuk ayah Rokhmat yang kini mempertanyakan keislaman dari orang-orang
yang membantai mereka. Tapi juga dari Juleha, seorang gadis yang sedang dimabuk
cinta dengan pemuda yang ternyata berseberangan dengan dia. Dengan keluarganya.
Juleha
kemudian berusaha mengunjungi berbagai perpustakaan, membaca sebanyak mungkin
buku, menemui para ustadz, demi menemukan kebenaran –atau mungkin pula hanya untuk sekadar mencari pembenaran? Dari
penelusurannya itu, nyatanya Juleha semakin menemukan bahwa ia tidak bisa
menutup mata pada sejarah dan fakta tentang Ahmadiyah. Namun di lain pihak, ia
juga meyakini bahwa segalanya tidak bisa dipaksakan. Termasuk masalah
keyakinan.
Film
garapan Hanung Bramantyo ini
menampilkan dengan nyata bagaimana kegundahan seorang Juleha yang diperankan
dengan apik oleh Zaskia Adya Mecca
dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Sebuah kegalauan yang sebenarnya tidak
perlu dialami oleh seorang putri kyai yang seharusnya memahami betul
prinsip-prinsip mendasar tentang agamanya, kecuali
tentu jika masalah cinta dan perasaan turut berperan dalam hal ini. Tiap
malam, Juleha bermunajat agar diberikan jalan keluar. Sementara Ben Kasyafani yang memerankan tokoh
Rokhmat pun tidak usai bersujud untuk menemukan solusi atas cintanya. Pembacaan
narasi sepanjang film oleh Agus Kuncoro
begitu mendukung suasana gundah nan galau yang dirasakan oleh pasangan ini.
Hingga
akhirnya pada sebuah kesempatan, Juleha terus berdoa sejak sepertiga malam terakhir
hingga subuh tiba. Paginya, ibunya mendapati Juleha tertidur di atas sajadah.
Bukan tidur biasa. Ini berkaitan dengan penyakit yang ia derita. Penyakit yang
tidak bisa diterima oleh lelaki lain, selain pujaan hatinya, Rokhmat. Setelah
itu, Juleha tidak pernah benar-benar sadar. Lewat bibirnya yang pucat ia hanya
terus-terusan mengigau agar ayahnya bersedia merestui mereka. Maka gundalah
kedua orang tua gadis ini. Apakah sang
kyai akan berubah pikiran demi menuruti keinginan anaknya? Mampukah ia
meneladani kisah Nabi Ibrahim yang yang lebih memilih perintah Tuhan, ketimbang
menolak menyembelih sang putra tercinta Ismail dalam ritus kurban? Ataukah
kisah ini akan menjadi sepedih Romi dan Yuli yang sebenarnya?
Film
yang terinspirasi dari esai puisi karya Denny
J.A ini mengangkat sebuah tema kontroversial seputar keberadaan Ahmadiyah
di Indonesia. Issu ini cukup menyita perhatian publik dan mendapatkan banyak
tanggapan dari berbagai pihak. Baik pihak yang benar-benar memahami pokok
permasalahannya, maupun yang sebenarnya tidak benar-benar paham dan hanya
memandang perkara ini dari satu sisi saja.
Ahmadiyah
sendiri adalah sebuah gerakan yang dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun
1900 M. Di depan pengikutinya, lelaki yang lahir di India pada 1839 ini mengaku
sebagai nabi, sebelum awalnya menganggap dirinya sebagai mujaddid (pembaharu). Pemahaman ini bermula dari gerakan orientalis
bawah tanah oleh Sayyid Ahmad Khan yang membuka jalan munculnya Ahmadiyah. Beberapa
poin keyakinan yang menyimpang bahkan hingga menyerempet akidah, membuat
jama’ah ini oleh Rabithah Alam Islami di Mekkah pada April 1974 dihukumi telah
kufur, keluar dari Islam. Kelompok ini didukung oleh pemerintah Inggris pada
masa itu, sebab mereka meyakini wajibnya ketaatan pada Ingrris yang kala itu
melakukan penjajahan. Paham ini menyebar ke berbagai negara di dunia hingga
saat ini, termasuk di Indonesia.
Kelompok ini telah eksis di Indonesia sejak 1928. Pada
tahun 2005, berdasarkan Musyawarah Nasional VII, MUI mengeluarkan fatwa sesat
pada Jama’ah Ahmadiyah. Penganutnya tidak diakui sebagai bagian dari kaum
muslimin. Mereka yang mengaku muslim, harus mengulang syahadat sekali lagi.
Masalahnya, meski tetap pada keyakinan mereka, para pengikut Ahmadiyah juga
ogah disebut bukan bagian dari Islam. Hal inilah yang menjadi pokok masalah
sebenarnya, Ahmadiyah dianggap melecehkan ajaran Islam yang murni. Sikap keukeuh dari Ahmadiyah ini, ditambah
lambannya respon pemerintah untuk melakukan penertiban dengan cara-cara yang
elegan, akhirnya memicu keresahan di tengah masyarakat. Mereka, bukannya tidak
menerima adanya kepercayaan lain. Namun, mereka terusik pada ajaran agama Islam
yang disimpangkan oleh sekelompok orang yang tetap ingin disebut muslim. Ini
masalah akidah. Dan dalam hal tersebut, segalanya menjadi hitam putih.
Sayangnya, film ini tidak menjawab tuntas mengapa tidak
ada titik temu antara pengakuan dari Rokhmat tentang sosok Ahmadiyah yang ia
yakini atau (mungkin) yang sebatas ia jalani, dengan apa yang dipaparkan oleh
para ustadz dan ayah Juleha. Penjelasan ini menjadi penting karena hal inilah
yang akan membuat penonton menjadi dapat memilih sikap apa yang terbaik dalam
menanggapi permasalahan tersebut. Diperlukan objektivitas dalam menampilkan
fakta-fakta yang menunjang latar belakang film ini. Namun film ini justru melulu menghadirkan gambaran kekerasan dan
pembantaian yang tidak menampilkan penjelasan lebih mendalam perihal apa duduk
permasalahan yang sebenarnya, yakni masalah penistaan agama. Dan, seharusnya tidak
hanya terus menerus meletakkan pihak Ahmadiyah seolah-olah sebagai ‘korban’
belaka, sehingga jangan sampai justru yang sedang didiskriminasi sebenarnya adalah
pihak yang berseberangan dengan Ahmadiyah –yang notabene tengah dinistakan
agamanya. Terlebih lagi dengan penyebutan fatwa MUI sebagai ‘sumber kekerasan’,
yang nampaknya justru kurang menunjukkan toleransi yang seharusnya diusung. Meski
tentu tanpa melupakan fakta, bahwa atas alasan apapun, segala bentuk kekerasan
tidak dibenarkan di negeri nan damai ini. Sebab sebenarnya, selalu ada
cara-cara yang hikmah jika kita tidak bersikap terburu-buru untuk membereskan
sebuah persoalan. Kesalahan dalam bersikap hanya membuat sebuah kebenaran lebih
mudah untuk dijungkirbalikkan.
Ada yang menarik dari film yang ditayangkan dengan alur
flashback ini. Pada menit ke 10:42,
Agus Kuncoro menyampaikan sebuah narasi yang menarik saat ditampilkan acara
lamaran Rokhmat dan Juleha. Diiringi backsound yang selalu mendukung suasana yang dibangun dalam tiap menit pada film
ini, narator berucap; “Semua sepakat,
tanpa bicara agama.”. Pemilihan
kata ‘agama’ dan bukan ‘pemahaman’, ‘kelompok’, atau ‘keyakinan’, dalam narasi
ini justru menunujukkan bahwa perbedaan antara Rokhmat dan Juleha memang bukan
‘hanya’ perihal ketiga hal di tersebut, tapi justru perbedaan dalam hal (pokok)
keagamaan. Tentu ini bukanlah perbedaan yang disifatkan sebagai rahmat. Bahkan statement bahwa ‘Perbedaan
adalah rahmat’ pun nyatanya harus ditinjau ulang jika ingin dijadikan dasar
dalam keyakinan, sebab posisinya adalah sebagai sebuah hadits yang tidak jelas sanad (jalur periwayatan) dan matan (isi hadits)-nya. Bahkan, ia
bertentangan dengan salah satu ayat Al Qur’an: “Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali
orang yang dirahmati Rabbmu.” (QS. Hud: 118-119).
Film berdurasi 41 menit ini akhirnya menggambarkan
kepada kita betapa pentingnya pemahaman akan sebuah persoalan. Terlebih dalam
hal memeluk sebuah keyakinan, termasuk dalam menyikapi perbedaan yang akan
selalu kita temui dalam masyarakat yang majemuk. Sebab, saat segala sesuatu
tidak didasari atas ilmu, maka kita tidak akan melihat apa-apa, kecuali
kegelapan. Kita berkemungkinan tidak bisa menciptakan apa-apa, selain
perpecahan.