Nak,
Entah mengapa malam ini aku
sangat ingin berbincang denganmu. Maka kutuliskan surat ini, dari ketinggian
lantai tujuh sebuah bangunan pada malam pergantian tahun. Bukan. Bukan untuk
turut merayakannya. Tapi justru untuk menghindari suara gempita kembang api dan
petasan yang beberapa tahun lalu sempat memperburuk kondisi kesehatan
ibuku –nenekmu, akibat shock berat akibat bunyi petasan pada jam 00.00 itu.
![]() |
suara petasan mulai ramai, padahal pergantian tahun belum juga dimulai |
Kelak, janganlah kau seperti
mereka, Nak. Mereka yang melakukan berbagai hal tanpa pernah benar-benar
mengilmuinya. Bahkan mungkin, tanpa ingin dan tertarik untuk mengetahui
asal-muasal perayaan itu. Sehingga, mereka kemudian mengerjakan sesuatu dengan
mengikut pada kesukaan orang banyak. Meniupkan terompet, tidak peduli pada guyuran
hujan, meminum minuman yang memabukkan, bahkan melakukan dzikir massal yang
tidak pernah dicontohkan Rasul. Maka seberbusa apapun mulut orang-orang yang
sadar itu untuk mengingatkan mereka, tetap saja hidayah kebenaran itu adalah
hak-Nya.
Mungkin, perayaan-perayaan ini
menemukan pembenaran sebab telah terlalu banyak orang yang melakoninya. Padahal
Nak, terkadang kebenaran bukan hanya dapat kita temui dalam banyaknya jumlah.
Bahkan justru bukankah, semakin bumi ini tua, maka nilai kebaikan pun akan makin
samar dan terasingkan? Maka percayalah Nak, betapa kita harus bersyukur sebab
terlahir dengan agama yang begitu menjujung tinggi tradisi ilmu. Pun budaya
membaca dan menulis yang tak lepas darinya. Bersyukurlah, dan teruslah menjadi
pembelajar.
Tahukah kau bahwa kini aku pun
sedang melakukannya? Ya, belajar. Terkhusus mempelajari bagaimana seharusnya
membersamaimu kelak. Mendidikmu di masa depan. Dan kudapati, ternyata itu
bukanlah suatu hal yang mudah. Maka benarlah, pembelajaran tentangnya memang
tidak bisa dilakukan dengan tiba-masa-tiba-akal.
Ada banyak hal yang harus dipahami. Ada sudut pandang yang harus digeserkan.
Setelah bertahun-tahun berada dalam posisi anak, tanpa pernah merasai jerihnya
sebagai orang tua.
Maka semakin kupelajari itu,
semakin pula kuinsyafi mengapa posisi kedua orang tua menjadi teramat penting,
ditinjau dari sisi manapun! Tersebab tugasnya yang memang berat, bukan hanya
masalah mencukupi kebutuhan lahiriyah seorang insan baru, namun lebih dari itu;
membangun generasi penerus. Maka itu pula berarti membangun peradaban masa
depan. Ah, entah seperti apa zaman yang akan kau hadapi, Nak. Maka untuk itu,
akupun semakin sadar betapa banyak hal yang memang harus kupelajari lagi,
kubaca lagi, untuk kelak kuajarkan kepadamu.
Maka peradaban itu kita akan
bangun bersama dari sana. Dari sebuah rumah yang semoga akan selalu kau
rindukan untuk pulang padanya, sejauh apapun kau kelak telah melangkah. Tak perlu megah ataupun mewah, namun kita harus
pastikan ia menjadi tempat dimana kalimat Allah kita tinggikan bersama. Menjadi
bangunan yang tiap sudutnya mengingatkan kita pada dzikir. Dan ketenangannya
mampu membangkitkan kembali semangat-semangat yang mungkin terserak setelah
aktivitas seharian itu.
Dari sana Nak, setiap pagi kita
akan melepas kepergian lelaki itu. Lelaki yang kelak akan kau panggil ‘Ayah’.
Aku pun belum tahu siapa dia, dan bagaimana pula sosoknya. Apakah ia juga
senang menulis puisi dan menyukai warna biru? Hahaha..., entahlah! Sepertinya
itu bukan hal yang teramat penting, bukan? Yang terpenting adalah, kebaikan
agamanya dapat menuntun kita semua menuju syurga, berkumpul kembali di sana
dalam kekal. Yang terpenting adalah, kita dapat benar-benar yakin dan percaya,
bahwa setiap rezeki yang ia suapkan ke mulut kita adalah yang halal-halal saja.
Yang terpenting tentu saja, ia layaknya seorang imam yang mendoakan kita, dan
kita pun mendoakannya. Maka dari itu, Nak. Lelaki yang kau panggil Ayah itu
sungguh menanggung beban yang berat. Juga ujian dan rintangan yang juga tidak ringan.
Maka cintailah dia, berikanlah baktimu padanya, karena Allah saja. Mungkin, kau akan mendapati
wajahmu pada wajahnya, dan sebaliknya pula. Maka kasihilah ia, hingga
seterusnya, hingga tua menggamitnya dalam rambut beruban.
Oh iya, di masa kecilku dulu, aku
sering membaca dongeng-dongeng dari barat sana. Rangkaian ceritanya telah
mendunia. Namun, sebagian besar ditutup memang dengan ending yang indah;
bahagia selamanya. Karena itulah, Nak. Kuharap kau tidak perlu membaca
cerita-cerita macam itu di masa kecilmu nanti. Cukup aku saja.
Sebab, tahukah?
Hidup yang bahagia selamanya itu
tidaklah ada. Kehidupan yang terus menerus diwarnai suka cita itu memang hanya
ada dalam cerita tak nyata. Sebab hidup ini Nak, sesekali akan diselingi dengan
kesukaran, kesulitan, bahkan kepayahan. Mungkin kau akan menangis karenanya,
terluka, dan tertekan. Ah, aku bukan sedang ingin menakutimu, sungguh!
Maka begini saja, bagaimana kalau
kita cukup menjadikan kisah para nabi sebagai dongeng menjelang tidurmu? Aku
dan ayahmu mungkin akan membacakannya bergantian, atau bersama-sama –entahlah.
Tapi dari kisah para nabi itu kita belajar bersama, bahwa hidup yang tidak
mudah ini, bukanlah tanda bahwa Allah tidak adil. Justru, dari kesulitan kita
akan lebih mudah bersabar. Bahkan tahukah kau, justru para manusia terbaik
itulah, para Nabi dan Rasul, yang merasakan seberat-beratnya ujian hidup, karena
tingginya keimanan mereka. Maka saat ujian itu datang, kenikmatan kecil
sekalipun akan dapat tersyukuri. Maka sabar dan syukur itu anakku, kata Umar
bin Khattab Radhiyallahu 'anhu adalah dua tunggangan yang tidak perlu kau khawatirkan akan gunakan
yang mana. Keduanya akan saling kait-mengait. Panggil-memanggil. Maka ya, kami
tidak menjanjikan bagimu kehidupan yang bahagia selamanya itu, tapi maukah kau
bersama-sama menjalani setiap detik kebersamaan kita nanti dengan sabar dikala
cobaan dan syukur dalam kenikmatan?
Nak, seperti apapun kau nanti.
Lelaki ataupun perempuan. Ceria ataupun pendiam. Cukuplah kau menjadi dirimu
sendiri. Namun, itu bukan berarti kau tidak perlu mencari teladan dalam
bersikap dan menyikapi hidup. Temukanlah paket lengkap dari kehidupan dalam
diri Rasulullah Shallalahu ‘alaihi
wasallam. Belajarlah kebeningan nurani dari Abu Bakar. Menjadilah tegas
dalam kebenaran layaknya Umar. Pupuklah kelembutan hati dan kedermawanan
seperti milik Utsman. Lalu contohlah kecerdasan dari Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu ‘anhum. Tak harus persis Nak, sebab tentu saja itu
sulit. Sedikit saja, perlahan saja. Namun tetaplah niatkan, bahwa besar inginmu
meneladami mereka, generasi paling bercahaya itu. Bahwa kau cinta pada mereka,
dengan sebenarnya cinta. Maka semoga kelak itu pula yang menjadi sebab
dibersamakannya kau –dan kita, dengan
mereka di tempat terindah bernama syurga.
Maka harus segera kuselesaikan
tulisan ini, agar esok tak terlambat memulai hari. Penanggalan masehi akan
berulang lagi. Kehidupan akan kembali berlanjut. Sungguh, aku tidak tahu apa
yang akan menantiku di depan sana. Tapi Nak, bukankah sebab terhijabnya kita
dari masa depanlah, yang membuat kita menjadi bersemangat untuk mengikhtiarkan
yang terbaik dalam hidup?
Humm, aku tidak tahu kapan kita
akan berjumpa, bahkan apakah kita memang akan benar-benar berjumpa. Tapi, Nak.
Menulis ini saja semoga sudah menjadi satu manfaat bagiku. Sebab segala hal
yang kubincangkan padamu, sebenarnya hanyalah satu caraku, untuk membincangi
diriku sendiri, menasihati diriku sendiri. Maka, terima kasih.
Makassar, 31 Desember 2012
2012 adalah harapan
2013 semoga menjadi pencapaian